GROWING GREAT GENERATION

JURNAL
SEKOLAH ALAM BAMBU ITEM


IKUTI KAMI

         

Family Camp

Hari Minggu yang cerah menjadi saksi hangatnya kebersamaan dalam acara Family Camp Sekolah Alam Bambu Item yang digelar di Sisi Cai Sentul, sebuah lokasi alam terbuka yang tenang, dikelilingi pepohonan dan aliran sungai yang jernih. Meski hanya berlangsung satu hari, dari pagi hingga sore, acara ini penuh dengan momen berkesan bagi seluruh peserta.

Sejak pagi, keluarga mulai berdatangan dengan semangat. Setelah registrasi dan orientasi singkat, anak-anak dan orang tua langsung terlibat dalam kegiatan pembuka yang mencairkan suasana. Gelak tawa dan sorak-sorai mewarnai permainan kolaboratif yang dirancang untuk menguatkan kerja sama antara anak dan orang tua.

Salah satu momen favorit hari itu adalah ketika anak-anak menjelajahi area sungai. Dengan pengawasan yang aman, mereka bermain air, mengamati bebatuan, dan mengenal ekosistem sungai secara langsung. Di sinilah esensi pembelajaran berbasis alam benar-benar terasa: anak-anak belajar dengan tubuh, rasa, dan pengalaman.

Selain eksplorasi alam, acara juga diisi dengan sesi refleksi keluarga, kegiatan kreatif, serta waktu santai bersama di tikar-tikar piknik yang digelar di bawah pohon rindang. Para orang tua pun punya kesempatan untuk saling berbagi cerita, tantangan, dan inspirasi dalam membesarkan anak-anak di lingkungan yang penuh dukungan.

Menjelang sore, seluruh peserta berkumpul dalam satu lingkaran untuk penutupan. Suasana haru dan syukur terasa saat anak-anak dan orang tua saling mengucapkan terima kasih. Meskipun singkat, banyak yang merasa pulang dengan hati yang lebih hangat dan pikiran yang lebih segar.

Family Camp di Sisi Cai Sentul bukan sekadar acara satu hari—ia adalah pengalaman bermakna yang menanamkan nilai-nilai kekeluargaan, kemandirian, dan cinta pada alam. Sebuah perjalanan singkat yang memberi dampak panjang dalam relasi antara anak, orang tua, dan lingkungan sekitar.




Sekolah Alam

Oleh : Ustad Harry Santoso/ Millenial Learning Center

Saya usul kepada para ortu yg “melirik” sekolah alam atau sekolah alternatif sejenisnya, tetapi masih mempertanyakan “legal” dan “tidak legal”, masih mempertanyakan bisa achieve “nilai akademis”, masih mempertanyakan fasilitas dan hal-hal non teknis lain seperti jalan masuk, bangunan, dll., masih mempertanyakan “kurikulum diknas”, masih berniat memasukkan anaknya ke SMP negeri, masih beranggapan sekolah alam semacam penitipan anak2 “liarrr”, masih menganggap sekolah alam adalah sekolah unggul dstnya…. agar segera melupakan sekolah spt ini, krn akan justru mengganggu “kebahagiaan” anak2nya kelak. Dan jangan teruskan membaca tulisan ini.

Tetapi bagi mereka yg merindukan “sekolah alternatif” dengan segala ekperimen dan inovasi ttg implementasi sekolah yg membebaskan dan membahagiakan, bagi mereka yg curious dgn perkembangan potensi bakat anak plus akhlak/karakter ketimbang akademis, bagi mereka yg berfikir… “lebih baik mencoba sesuatu yg belum tentu gagal, daripada melanjutkan sesuatu yg sdh pasti gagal” , maka sekolah alam atau berbasis berbasis potensi bersama komunitas bisa menjadi pilihan yg tiada lagi pilihan lain.

Anak2 SD SA sering keok kalau lomba cepat tepat, tetapi sangat hebat kalau lomba merancang dan mendesign serta mengimplementasikan proyek bersama. Anak SA tidak perlu belajar serius ttg akademik, krn yg dibutuhkan dan diajarkan di sekolah ini adalah ttg curiosity, tradisi belajar sehingga tanpa sadar membawanya pd fast learning.

Anak saya misalnya bisa masuk SMP Negeri favorite dgn rangking atas, cukup di “drill” 2 bulan saja. Anak SA memiliki kemampuan memimpin, keberanian berekspresi melebihi anak2 lain, walaupun sering bengong krn tidak mengenal nama “artis pop” beserta lagunya.

Sebelum belajar mereka membaca ma’tsurat dan menghafal Qur’an, setelah itu belajar dan bermain dengan kambing, mencari harta karun barang bekas, memanjat atap sekolah, memancing ikan, mengerjakan tugas di pinggir danau, berselancar di internet dan perpustakaan.

Mereka tidak pakai buku tulis dan tidak punya buku cetak, yg ada adalah kertas setengah pakai dan perpustakaan serta diskusi yg mengasikkan. Kelas mereka sama sederhanya dengan “kandang kambing”, itu menurut anak teman saya yg menolak sekolah di SA krn terbiasa di sekolah islam yg elitis dan mewah.

Tas mereka besar2, isinya bukan buku, tetapi baju ayah utk berkebun, jas hujan, termos minuman, baju salin dan sepatu boots. Liburan mereka tidak naik bis mewah dan menginap di penginapan hangat, liburan mereka adalah ekspedisi ke daerah konservasi, mencari jejak badak, berkano di sungai kecil menyusuri hutan sepi dan rindang, naik kapal kayu menyeberang selat, tidur di tenda, berbasah2 dan ditempeli lintah.

Ini sekedar berbagi pengalaman. Anak2 itu bahagia. Mungkin orangtuanya yg malah “miris” . Dari sinilah, insyaAllah lahir pemimpin yg tidak elitis, yg sejak kecil terbiasa menghargai alam, menghargai sekolahnya bukan krn kemewahan gedungnya dan licinnya seragam, tetapi pesona kebersamaan dan pesona miniatur kehidupannya. Memuliakan teman2 sesama krn kebaikan akhlaknya bukan krn rangkingnya. Mereka terbiasa mencintai sekolahnya, bahkan sampai hari ini, anak saya sdh SMA, bersama teman2nya sering mengenang masa2 indah di SA yg membuat mereka “benar2 diterima” sebagai manusia seutuhnya.

Nah, jika anda nekat memaksa anak anda masuk SA atau sekolah semisal ini, tanpa mau merubah paradigma tentang sekolah, maka anda bisa jadi akan menghalangi dan merusak kebahagiaanya kelak.


Sekolah Alam Mendidik Dengan Hati

Nun di sebuah gedung megah berpintu rapat, sekumpulan anak berusia 5 – 7 tahun dikumpulkan. Mereka adalah murid-murid SD Anu, buah dari seleksi inteligensi yang teramat ketat. Wajar, karena di sekolah tersebut ada begitu banyak pelajaran yang hanya bisa dicerna oleh intelektualitas kelas tinggi. Dibutuhkan logika yang tajam dan penalaran kelas master untuk dapat mencerna paparan dan argumentasi atas tiap hal yang diajarkan.

Ya karena SD itu terlanjur yakin bahwa pendidikan itu adalah upaya membangun otak yang sehat, karena otaklah yang mengendalikan perilaku. Mereka yakin, bersama otak yang cerdas akan mudah mendidik keyakinan dan kebiasaan baik, seperti shalat, puasa, membaca AlQur’an, menutup aurat, berakhlaq mulia dan sebagainya.

Tapi segalanya belakangan berubah menjadi tangis, karena ternyata otak, pikiran dan penalaran tak mengenal kata kebaikan dan kebenaran. Ternyata otak hanya mengenal pengalaman dan data… Pikiran hanya mengenal argumentasi…. Sedangkan penalaran hanya mengenal kata logis. Kini anak-anak cerdas itu telah mampu melawan otak dengan otak, argumentasi dibalas dengan kontra-argumen, sedangkan tesis dihadapi dengan anti-tesis. Apa-apa yang telah tertanam dalam, ternyata tak tumbuh. Sedangkan kebiasaan baik hilang dengan sekejap, seakan usaha penuh disiplin dalam waktu lama, kini hilang tanpa bekas.

Dan tak jauh dari sana, ada sebuah sekolah alam. Di sana hadir berkumpul siapapun yang punya hati. Murid-muridnya tak pernah diseleksi, karena yang diseleksi adalah para ayahbunda mereka : ayahbunda yang punya peduli. Mereka “hanya” punya alam, dan itulah sebabnya kenapa yang dibutuhkan adalah hati. Karena alam hanya bisa dinikmati dengan hati, dan alam berdialog kepada hati.

Ya, alam itu feminin. Ia berbicara setiap hari pada manusia dalam bahasa hati, karena hanya bahasa itulah yang telah Allah ajarkan kepada alam untuk berbicara pada manusia (QS Al-Zalzalah : 4-5). Kalaulah kita tak kunjung mengerti cerita alam, itu karena kita telah terlalu lama berlogika.

Lalu kenapa harus hati ? Tentu, karena kesadaran itu bermula dari hati. Sedangkan niat itu adalah produk dari hati, lalu ia perintahkan otak untuk menggerakkan tubuh. Mungkin kita telah lama lupa, bahwa kesadaran bukan lahir dari pikiran dan niat tidak lahir dari otak. Otak hanya melahirkan ide, bukan gairah. Pikiran hanya melahirkan konsep, bukan niat. Sedangkan logika hanya melahirkan metode, bukan kesadaran. Nah, amal adalah buah dari gairah, kesadaran dan niat. Sementara ide, konsep dan metode hanyalah perangkat-perangkat untuk beramal. Dan sekolah alam sepenuhnya menyadari bahwa keshalehan lahir dari hati yang membuahkan gairah, niat dan kesadaran, sedangkan otak, logika dan argumentasi hanyalah instrumen keshalehan.

Maka para guru sekolah alam pun mungkin bukan orang-orang sangat cerdas, tapi kumpulan orang-orang yang punya hati, cinta, ketulusan dan keikhlasan. Mereka sadar, intelektualitas bisa dibentuk dengan ilmu, profesionalitas bisa dibentuk dengan kompetensi, namun spiritualitas hanya bisa ditularkan oleh cinta dan ketulusan. Jadi, di sekolah alam tak akan banyak kita saksikan debat argumentatif, tapi kaya dengan kisah-kisah menyentuh. Di sekolah alam tak akan banyak kita dengarkan alasan-alasan “kenapa begini dan begitu ?”, tapi yang ada adalah peran-peran yang dimainkan dan dihayati. Di sekolah alam senyum dan airmata lebih banyak berbicara daripada logika dan kata-kata, karena senyum dan airmata mampu melembutkan jiwa.

Saatnya anak-anak kita hidup di sekolah alam, jika yang kita inginkan adalah pembentukan generasi bertaqwa. Karena taqwa itu ada di dalam dada (AlHadits)

Ditulis oleh Adriano Rusfi

Konsultan Senior, Psikolog, Pelaku Pendidikan